Posted by : Eleven Social One Kamis, 11 April 2013

A. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
 1. PERALATAN : Peralatan dan perlengkapan yang digunakan oleh suku Korowai anatara lain rumah, parang atau kapak (logam atau batu), ainop, tombak, bubu, tali, kulit kayu atau anyaman daun sagu (sebagai atap rumah), kayu (sebagai kerangka rumah) dan panah.

2. MATA PENCAHARIAN : Suku Korowai hidup dengan menggantungkan pada alam. Pemenuhan kebutuhan dilakukan dengan berburu, menangkap ikan, dan bahkan berladang. Hewan-hewan buruan mereka seperti babi hutan, burung kasuari, burung, ular, dan serangga kecil. Mereka menangkap ikan di sungai dengan bubu dan tombak. Untuk mendapatkan karbohidrat, mereka mengolah sagu, menanam umbi-umbian, juga menanam pisang. Sedangkan untuk memenuhi protein, makanan utama mereka adalah larva kumbang Capricorn. Makanan nabati juga sangat penting bagi mereka. Terutama daun palem, pakis, sukun dan buah pandanae merah.

3. SISTEM KEMASYARAKATAN : Mayoritas klan Korowai tinggal di rumah pohon di wilayah terisolasi mereka. Sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru dibuka dari  Yaniruma di tepi Sungai Becking (area Kombai-Korowai), Mu, dan Basman (daerah Korowai-Citak). Pada tahun 1987, desa dibuka di Manggél, di Yafufla (1988), Mabül di tepi Sungai Eilanden (1989), dan Khaiflambolüp (1998). Klan Korowai hidup di teritorial masing – masing, yang disebut bolup. Mereka hidup dalam hubungan yang bersahabat dengan klan tetangga atau hidup terisolasi antar satu klan dengan klan lain. Teritorial satu klan terdiri dari  1-5 kluster rumah pohon (khaim). Dalam satu klan, pada dasarnya hanya berisi seorang pria dewasa, satu atau lebih istrinya, dan anak – anaknya yang belum menikah. Klan tersebut juga dapat terdiri dari ibu (kandung atau mertua) yang sudah menjanda,  sepupunya yang belum menikah, atau bahkan anak dari sepupunya yang masih lajang, sehingga dalam satu klan keluarga dapat mencapai maksimal 50 orang. Rata-rata dalam satu klan tinggal di lebih dari dua rumah pohon dengan populasi sekitar 20-30 orang. Bila anggota klan dapat mencapai hingga lebih dari 50 orang, maka sebagian dari mereka akan pindah ke desa lain dan membentuk kelompok yang lebih kecil. Kehidupan dalam klan Korowai memiliki suatu adat tertentu, seperti seorang pria yang menjadi pemimpin keluarga dilarang bertengkar atau melakukan kekerasan pada mertuanya. Apabila hal tersebut dilanggar makan anaknya akan terkena penyakit. Anak-anak perempuan suku Korowai (mbambam) lebih banyak dibesarkan dan tinggal bersama ibunya dan klan wanita dalam ruangan wanita yang terdapat dalam rumah pohon. Begitu pula dengan anak laki-laki yang mulai beranjak remaja atau yang sudah akil balig akan di tempatkan di ruangan laki-laki dalam rumah pohon. Bayi selalu dibawa dalam suatu tas yang digantung di tubuh sang ibu (ainop) sehingga lebih mudah disusui kapanpun sang bayi ingin. Perkawinan dalam suku Korowai bersifat eksogami (kawin campur antar suku) dan poligami. Seorang pria tidak dapat menikahi istri pertamanya sebelum berusia dua puluh tahun. Namun, seorang wanita dapat menikah saat baru beranjak remaja atau diusia yang lebih muda lagi. Pria dalam suku Korowai menjatuhkan pilihan untuk menikahi gadis-gadis di desanya bukan berdasarkan kecantikan fisik namun kemampuan gadis tersebut dalam mengumpulkan bahan makanan atau keahlian hidup lainnya.

4.  BAHASA : Keberadaan suku Korowai atau Kolufu ini sendiri baru diketahui pada tahun 1970-an lalu, di mana seorang misionaris Kristen datang ke sana dan mulai hidup bersama suku Korowai. Dari misionaris ini pula lah pada akhirnya suku Korowai mempelajari bahasa mereka, yaitu bahasa Awyu-Dumut, sebuah bahasa dari wilayah tenggara Papua. Sebuah tata bahasa dan kamus telah diproduksi oleh ahli bahasa misionaris Belanda. 


       5. SISTEM PENGETAHUAN : Pada tahun 2010, pemerintah untuk pertama kalinya menyensus suku Korowai ini dalam data kependudukan Indonesia.Sejak saat itu, bantuan pendidikan mulai dapat diberikan kepada penduduk Korowai, sebagai bagian dari warga negara Indonesia. Namun jauh sebelum itu, suku Korowai juga sudah menerima kehidupan dunia luar. Pada tahun 1979, misionaris Belanda menjelajahi kehidupan di sana. Misionaris Belanda tersebut mendirikan sebuah pemukiman yang disebut Yarinuma. Di sini  tinggal suku Korowai yang telah terbuka pada dunia luar. Biasanya yang datang kemari adalah anggota suku Korowai yang masih muda. Meski bentuk pengetahuan yang diterima jauh dari formal, namun suku Korowai terkesan menerima pengaruh dunia luar yang di bawa oleh misionaris Belanda.

6. SISTEM KEPERCAYAAN : Belum diketahui pasti apa sistem kepercayaan yang di anut oleh masyarakat suku Korowai, namun mereka menerapkan sistem kanibalisme secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Penerapan sistem ini  tidak  dilakukan  pada sembarangan orang. Namun, sistem ini diterapkan pada orang-orang yang melanggar peraturan yang ada di suku Korowai tersebut. Salah satunya jika salah seorang warga diketahui sebagai tukang sihir atau khuakhua. Meski suku Korowai menerapkan sistem kanibalisme, namun ritual ini sudah semakin berkurang pada masyarakat Korowai yang mulai mengenal dunia luar.

 7. KESENIAN
a)      Pakaian
Korowai adalah salah satu suku di Irian yang tidak memakai koteka. Kaum lelaki suku ini memasuk-paksa-kan penis mereka ke dalam kantong jakar (scrotum) dan pada ujungnya mereka balut ketat dengan sejenis daun. Sementara kaum perempuan hanya memakai rok pendek terbuat dari daun sagu.

b)      Rumah Adat
Keunikan suku Korowai terdapat pada tempat tinggal mereka berupa rumah pohon, yang dapat mencapai ketinggian 8-12 meter diatas permukaan tanah atau bahkan mencapai ketinggian 45 meter bila berada di area hulu sungai, dan dilengkapi dengan sebatang pohon untuk membantu mereka naik ke atas rumah (tangga). Setiap rumah pohon didesain menjadi dua hingga tiga  ruangan, sedikitnya dapat ditempati oleh seorang pria dan wanita dewasa, dan dilengkapi dengan tempat untuk meletakkan api. Ada tiga alasan suku Korowai memilih hidup di rumah pohon. Alasan pertama, mereka merasa dengan hidup di rumah pohon maka mereka akan lebih aman dari serangan musuh. Kedua, dengan tinggal di rumah pohon, suku Korowai akan lebih mudah mengawasi dan mendapat hewan buruan, seperti babi hutan yang berkeliaran di bawah rumah pohon mereka sehingga dengan mudah dapat dibidik dengan panah. Ketiga, mereka menganggap bahwa rumah pohon memiliki nilai tersendiri karena sudah merupakan budaya yang diwariskan secara turun temurun sehingga mereka merasa nyaman tinggal disana.

Salam, XI IPS 1 SMA Negeri 1 Geger

Kunjungi juga WEB Sekolah kami!

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Diberdayakan oleh Blogger.

Today

Followers

Viewer

- Copyright © Eleven Social One -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -