- Back to Home »
- Tahukah Kamu »
- Pendidikan dan Proses Humanisasi
Manusia adalah sebagai makhluk sosial ( Homo Sosius ), yang
dibekali Tuhan dengan akal, di mana akal akan menjadikan manusia
mengetahui segala sesuatu. Sesuatu yang sepele terkadang terlupakan
begitu saja dalam kehidupan. Manusia sering terfokus kepada persoalan
besar, namun sering kali terlena pada permasalahan yang sepele.
Padahal bila ditinjau secara filosofis, akan menjadi fondasi untuk
membangun kesadaran intelektual. Maka dari itu manusia seharusnya
memahami hakekat diri dan lingkungan dalam proses perubahan. Proses
penyadaran di sini menjadi amat penting di dalam kehidupan manusia.
Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
di belahan dunia manapun. Namun pendidikan yang diharapkan sebagai
bagian dari proses kehidupan yang dapat mengentaskan manusia dari
penindasan dan kesengsaraan ternyata menjadi bagian yang menindas
manusia itu sendiri.
Oleh karena itu bagaimana sekarang memposisikan proses pembelajaran
sebagai hal yang suci dan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu sebuah
proses pembelajaran yang tidak menindas dan tidak ada yang tertindas.
Ketika seseorang merasakan hak-haknya dirampas, maka seharusnya ia
menuntut.
Pada dasarnya tidak ada yang dapat mengubah nasib kita kecuali diri
kita sendiri. Oleh karena itu, setiap manusia harus berusaha keluar dari
segala bentuk penindasan dan berusaha memerangi setiap bentuk
penindasan. Selama ini kita melihat penindasan justru lahir dari dunia
pendidikan yang selama ini kita banggakan.
Sekolah selama ini dijadikan sebuah pabrik, di mana
lulusan-lulusannya siap menjadi tenaga kerja siap pakai. Maka sebagian
fungsi sekolah yang ada di Indonesia tidak lebih hanya sebagai cara
untuk mencari bekal untuk kerja. Tidak mengherankan ketika siswa tidak
menjadi semakin cerdas, tapi menjadi semakin beringas dan brutal.
Tawuran pelajar terjadi dimana-mana dan banyak sekali penyalahgunaan
NARKOBA yang dilakukan oleh pelajar. Hal itu merupakan bukti
ketidakberhasilan sekolah untuk membentuk siswa menjadi manusia
pembelajar. Pembelajar adalah individu-individu yang dapat memilah dan
memilih mana yang baik dan yang buruk.
Beberapa contoh di atas merupakan pertanda bahwa pendidikan hanya
dijadikan ajang penindasan bagi siswa. Erat kaitannya dengan hal
tersebut, Freire yang adalah seorang tokoh pendidikan menggagas adanya concientizacao ( kesadaran untuk melakukan ). Concientizacao
adalah kesadaran untuk melakukan pembelaan kemanusiaan. Dapat
memberantas buta huruf di kalangan orang dewasa misalnya, dimaknai
sebagai usaha membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.
Freire mengklarifikasikan kesadaran dalam tiga hal. Pertama, kesadaran magis ( magical conciousness
) yaitu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor
dengan yang lainnya, dalam hal ini melihat faktor di luar manusia.
Kedua, kesadaran naf ( Naival consciousness ) yaitu manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga, kesadaran kritis ( critical conciousness
) yaitu sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Kritis penyadaran
struktur dan sistem politik, sosial, ekonomi, budaya pada masyarakat.
Hal ini menunjukan bahwa kritisme sangatlah penting di dalam pelembagaan
penyadaran masyarakat.
Sebuah kenyataan tidak harus menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan
menyimpang dari keharusan, maka tugas manusia untuk merubahnya, agar
sesuai dengan apa yang seharusnya. Kenyataan tersebut sering disebut
dengan fitrah. Fitrah manusia sejati adalah pelaku ( subyek ), bukan
obyek atau penderita. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi
bebas. Kesemuanya itu sering disebut dengan tujuan humanisasi Freire.
Freire juga menyebutkan pendidikan seharusnya berorientasi kepada
pengenalan realitas dari manusia dan dirinya. Hal itu berarti bahwa
pendidikan bukan hanya sebagai ajang transfer of knowledge akan
tetapi bagaimana ilmu pengetahuan dijadikan sarana untuk mendidik
manusia agar mampu membaca realitas sosial. Hal ini juga didukung oleh
Lodge yang menyatakan life is education, education is life.
*) Penulis adalah Benny Setiawan, mahasiswa fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
sumber